Friday, March 30, 2018

Friday, December 22, 2017

PERTAPAN PRINGGONDANI



Pringgondani atau sering disebut petilasan Eyang Konconegoro terletak kurang lebih di ketinggian 1300 meter diatas permukaan laut (MDPL) tepatnya terletak didesa Blumbang, kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanyanyar.
Menurut masyarakat setempat “Pringgodani” merupakan gabungan dari kata-kata: Pring, Nggon, dan Ndani.Pring (Bahasa Indonesia = bambu) karena pring atau bambu adalah benda yang bisa dibuat apa saja, seperti manusia yang bisa berbuat apa saja, sedangkan kata nggon adalah bahasa Jawa yang artinya tempat, dan ndani adalah singkatan dari kata Jawa ndandani, yang berarti memperbaiki. Jadi, pringgodani adalah tempat bagi manusia untuk memperbaiki diri. Sedangkan nama Koconegoro atau sering juga disebut Eyang Panembahan Koconegoro hanyalah mitos. Sebab nama tersebut hanyalah sebuah perumpamaan, yakni: eyang artinya yang dituakan (yang tua), panembahan berarti tempat, koco berarti cermin, dan negoro artinya diri kita. Jadi, dapat diartikan sebagai tempat yang dituakan (dikeramatkan) dan bermanfaat untuk bercermin (memperbaiki) diri kita.
Mengenai pamuksan (menghilang)nya Prabu Brawijaya V ini ada keterangan lain bahwa pada pintu masuk Sanggar Pamelengan tertulis Dwi Jalmo Ngesti Sawiji. Tulisan tersebut dapat diartikan sebagai dua sosok manusia menyembah kepada yang satu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Namun sumber lain menjelaskan bahwa kata tersebut merupakan sengkalan angka tahun, yaitu dwi berarti 2 (dua), jalmo artinya 2 (dua), ngesti sama dengan 8 (delapan), dan sawiji artinya 1 (satu).Angka itu kalau dirangkai adalah 2281, dan karena sengkalan angka tahun maka cara membacanya harus dibalik yaitu 1822. Maksudnya pada tahun 1822 M itulah tempat ini dijadikan sebagai tempat moksa Prabu Brawijaya V. Tentang kebenaran mitos ini kita tidak pernah tau dan membuktikan kebenarannya.
Masyarakat juga mempercayai bahwa berbagai tempat yang dikeramatkan di lokasi tersebut juga mempunyai makna yang berbeda-beda. Hal ini sangat tergantung pada motif kedatangan dan tujuan para pengunjung, serta aliran kepercayaan yang diyakininya. Ada pengunjung yang motif kedatangan dan tujuannya untuk mencari ketenteraman batin, ada yang mencari ilmu gaib, dan ada juga yang datang untuk berobat. Ritual dilakukan secara berurutan sesuai urutan masing-masing tempat dan dengan waktu sesuai keyakinan maisng-masing pengunjung. Di sini terdapat beberapa warung makan sekaligus tempat penginapan bagi pengunjung yang sengaja datang untuk wisata ritual.
Kompleks pertapaan yang terletak di kawasan Perhutani ini, selain mempunyai pemandangan yang indah juga dikenal sebagai tempat yang mempunyai daya magis. Di kompleks pertapaan tersebut banyak tempat yang dikeramatkan, yaitu Sendang Gedang Selirang, tempat ini merupakan sebuah aliran sungai yang terbendung, Pertapaan Koconegoro. Pertapaan Koconegoro berada di lereng bukit sebelah utara Sendang gedang Seliran, Sendang Panguripan. Sendang ini terletak di lereng sebelah barat Pertapaan Koconegoro. Sendang Panguripan mempunyai makna bahwa air dari sendang tersebut sebagai sumber kehidupan, Sendang Penganten (Pancuran Tujuh). Dinamakan Sendang Penganten karena dahulu di tempat tersebut hanya ada dua pancuran. Namun dalam perkembangannya sekarang ini sudah ada tujuh, sehingga disebut juga Pancuran Tujuh. Fungsi dari Sendang Penganten adalah untuk mandi, bersuci, pengobatan alternatif, dan bermeditasi sekaligus untuk melangsungkan permohonan, Gua Pringgosari. Gua ini terletak di lereng jurang. Di dalam gua terdapat sebuah patung yang bernama Kebo Danu.
Menurut kepercayaan kotoran kebo ini mempunyai khasiat, antara lain: untuk menolak bala dengan menaburkan kotoran kebo itu ke tanah di sekitar rumah; dan untuk menyuburkan tanah, Telaga Wali. Telaga Wali semula berbentuk telaga. Sumber air berasal dari bukit di sebelah timur yang berupa air terjun. Karena banjir dan bencana alam banyak batu-batu besar yang jatuh terkena arus air, sehingga telaga itu kini tertimbun batu-batu besar tersebut, Gua Pringgosepi. Pringgosepi bermakna, yaitu tempat untuk menyepi. Untuk acara ritual orang lain tidak boleh masuk, karena guanya sempit dan di depannya terdapat jurang, untuk masuk gua harus menggunakan tali pengaman tubuh.
Situs Telaga Wali
Telaga Wali merupakan situs yang letaknya cukup dekat dengan kompleks Pertapaan Pringgondani.  Karena kedekatan tersebut, situs ini tak jarang menjadi sebuah tempat yang wajib dikunjungi pengunjung yang melakukan ritual di Pringgondani. Biasanya, Telaga Wali dijadikan pengunjung sebagai situs terakhir yang akan dikunjungi pengunjung yang melakukan ritual. Namun itu tidak menjadi aturan baku yang memaksa dan harus dilakukan secara runtut. “Berbeda-beda tiap orangnya, tergantung niat dan keyakinan, tapi pada umumnya sungkem, Sendang Gedhang, kula nuwun, adus, pembersihan diri, terus di sanggar berdoa, memohon, kalau mau kesini ya kesini.” ungkap seorang juru kunci gunung Lawu, Harso, yang saat itu sedang melakukan proses ritual menginjak hari ke empat puluh.  Pengunjung akan melakukan ritual di Telaga Wali sesuai kemantapan hati dan kepercayaan masing-masing pengunjung. Bahkan, secara historis pun tempat ini tidak memiliki keterkaitan dengan situs-situs di kompleks ritual pertapan Pringgondani
Secara historis, Telaga Wali memiliki berbagai macam cerita sejarah. Namun, banyak orang percaya bahwa situs ini merupakan petilasan Walisongo dulunya. Di sini, mereka berkumpul dan mandi bersama di air terjun sebelum menyebar mengajar dan menyebarkan ajaran agama Islam di masing-masing daerah di Jawa. “Pada awalnya sejarah tempat ini adalah tempat perkumpulan para wali untuk membersihan diri dan bermeditasi,” ujar Harso, “mereka akan mandi, bermeditasi dan berdiskusi bersama sebelum kembali menyebarkan agama di tanah Jawa ini,” lanjutnya. Hal ini dapat kita pahami, mengingat letak situs ini yang berada di gunung Lawu yang secara geografis dan administratif menjadi tempat strategis yang membatasi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dulu, secara administratif situs ini berada dalam kekuasaan Keraton Kasunanan Surakarta. “Eyang Kacanegara (penemu Pringgondani) adalah paman dari Eyang Lawu (pemilik gunung Lawu). Akan tetapi, Eyang Lawu merupakan bagian dari majapahit, sementara Eyang Kacanegara di Pringgodani sini adalah bagian dari Kasunanan (Surakarta),” terang Harso.
Ritual-ritual yang sering dilaksanakan pengunjung di situs ini adalah bermeditasi, mandi, dan berendam di telaga di dekat air terjun. Harso menjelaskan “Itu (Telaga Wali) biasa digunakan untuk pemandian di bawah air terjun atau telaganya, tapi ada juga yang sampai kungkum, terus air diambil untuk diminum, akan tetapi bila dilihat dari bagian tadi (ritual) ada fungsi berdoa atau beribadah kepada Tuhan.” Ritual-ritual tersebut biasanya akan dilaksanakan pada malam-malam tertentu. Hari-hari pasaran Jawa sering dijadikan patokan dalam melakukan ritual, yakni hari jumat, selasa kliwon, dan satu sura (muharram). “Kalau paling rame ya, kayak tanggal satu suro atau malam suro. Tapi hari jumat kliwon dan selasa kliwon juga rame,” ujar seorang pengunjung, Wiyanto.
Mereka meyakini dengan melakukan-melakukan ritual di sini akan mendapatkan berkah. Selain itu, air terjun juga dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Air itu menjadi semacam obat alternatif yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Mereka yang mengambil air akan dibawa pulang ke rumah dan diberikan ke orang yang sakit atau keluarga mereka agar tidak mudah sakit. “Kalau saya lebih percaya sama air yang ada di Telaga Wali, mbak. Lebih bisa menyembuhkan, mbak, daripada (air) yang lainnya,” ungkap Slamet, seorang pengunjung yang sengaja mengambil air Telaga Wali untuk penyembuhan penyakit.
Hubungan Budaya Pringgondani dengan situs Telaga Wali
Pertapaan Pringgondani merupakan suatu area yang terdapat di Desa Blumbang dengan berbagai bagian yang menjadi satu kesatuan dalam ritual yang dijalankan masyarakat setempat maupun masyarakat luar daerah. Masyarakat memiliki berbagai pemahaman karena asupan-asupan informasi yang didapat dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya, baik secara intensitas interaksi yang dilakukan individu di dalam masyarakat. Aspek lainnya adalah budaya yang terdiri dari pola-pola perilaku di lingkungannya karena diturunkan dari generasi ke generasi dan dianggap sesuatu yang harus ada di dalam masyarakat. Kebudayaan tersebut akhirnya teresap oleh pemikiran-pemikiran individu yang berbeda-beda satu sama lain.
Pertapaan Pringgondani yang sudah ada sejak lama, memiliki keberadaan yang mengakar pada masyarakat dalam segi sejarah, fungsi, manfaat, bahkan keterkaitan antar situs di dalamnya. Situs di sii merupakan bagian  dari rangkaian pertapaan pringgodani. Rangkaian pertapaan dimulai dari situs yang paling awal yang berada di bawah yaitu
Sendang Gedhang, Lalu setelah sendang gedhang menuju ke sendang temanten, lalu setelah selesai dilanjutkan menuju pringgosari. Setelah itu ke pertapaan yang utama yaitu Pertapaan pringgodani itu sendiri. Namun jika menginginkan rangkaian ritual yang menyeluruh maka dilanjutkan keTelaga Wali. Di telaga wali sendiri juga terdapat rangkaian ritual, mulai dari melakukan mandi di telaga wali, lalu kemudian ritual di pringgonoto untuk menata hati sebelum melakukan ritual yang paling akhir. Selanjutnya melakukan ritual di Pringgosepi, di tempat ritual yang paling akhir ini pengunjung melakukan meditasi minimal selama tiga hari tiga malam, di pringgosepi orang yang melakukan ritual benar-benar diuji secara fisik maupun mentalnya.
Selain pringgodani dan pringgosepi terdapat juga sanggar plengetan. Awalnya sanggar ini ada karena dibangun oleh salah satu pengunjung yang beretnis Tionghoa. Beliau mendirikan sanggar tersebut sebagai wujud rasa syukurnya karena sudah berhasil mendapatkan ‘hajatnya’. Menurut Harso salah satu informan kita, beliau mengatakan bahwa sanggar plengetan tersebut digunakan ibadah. Selain itu ditempat tersebut digunakan juga sebagai ‘Ngrogo Sukmo” oleh mbah Harso.
Dari segi sejarah, situs telaga Wali dengan situs-situs di Pringgondani sendiri tidak memiliki hubungan satu sama lain. Tetapi dari segi ritual situs Telaga Wali dengan situs-situs yang lain saling berhubungan. Hal itu dapat dilihat dari proses ritual yang dilakukan oleh pengunjung. Ketika mereka datang ke Pringgondani, pengunjung tidak hanya datang ke Telaga Wali. Mereka setidaknya melakukan ritual terlebih dahulu di situs sebelum Telaga Wali atau melakukan ritual disitus lain setelah Telaga Wali. Antara setiap situs di Pringgondani memiliki sejarah, ritual, dan kekuatan magis yang berbeda-beda yang diyakini sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Mereka melakukan ritual sesuai apa yang diyakini.
(SUMBER: TUGAS)

MAIN KE PRINGGONDANI



Hello guys, di postingan  yang pertama kali ini aku mau bagi bagi cerita aja sama kalian J J J
Kemarin aku dan teman-temanku liburan ke sebuah tempat. @#$%@$%#@#%#&
Jadi intinya, Kemarin itu aku dan teman-teman pergi ke Pringgondani. Ya gitu deh… nugas*
*kenalin nih… urut dari depan ya, Pak ari, aku, dipta, bondan…
Oke lengkap,

Ets, ngomong-ngomong si indra mana ya…


Lets scroll down guys
Pringgondani terletak di desa Blumbang, kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanyanyar. Ya, maksudku bukan tepat di desanya sih ya… tapi butuh perjuangan untuk sampai ke pertapan pringgondani. Kami harus melewati ratusan anak tangga, melewati bukit-bukit dan yang pastinya setelah sampai di atas. Wiuuu… semua penat akan terbayar deh.
Jadi gini guys, kemarin itu aku dan teman-temanku dari solo sekitar pukul 08.00 an lah dan nyampe di di desa Blumbang pukul 10.30 an. Kami harus muter-muter karena  nggak tau jalan guys, ya maklum lah guys bau pertama kalinya. Itupun kalau nggak karena nugas ya ngak tau malahan.
Ok. Kami sampai di desa Blumbang pukul 10.30, dan di sana kami bertemu dengan seorang penjaga, di posnya. Ya istilahnya kula nuwun lah guys. Dan Tanya-tanya gitu.
Setelah setengah jam lebih kami bertanya-tanya ke bapaknya, kami langsung cus muncak.
*ets, kata bapaknya tadi kalau ada burung jalak jangan sampai di ganggu, dan jangan sampai di bawa pulang ya guys. Katanya itu peliharaannya yang ngrekso di sana* ya, kalau aku sih dimana bumi di pijak, disitu langit di junjung sih. Intinya manut wae.
Perjalanan di mulai guys, tapi sebelum nya numpang poto dulu ya… biar semangat naiknya.
 
 biar tambah greget guys.

Seperti yang sudah aku bilang di atas. Untuk sampai di pertapannya kita harus menaiki ratusan anak tangga guys.


Huuuu…. Setelah satu jam hampir satu jam tiba lah di sendang gedang, tempat pertama yang kami temui. Oh ya katanya sih sendang gedang sebagai pintu masuk di pringgondani. Orang-orang yang mempercayainya akan mandi di sendang tersebut.
seorang yang sedang mandi di sendang gedang, yang merupakan pintu masuk dari wilayah pringgondani.

sendang gedang
Lalu kami langsung naik lagi, ke Pertapannya langsung. kami tidak melakukan ritual mandi di sendang gedang, 



pertapan Pringgondani

untuk melepas penat, kalian bisa ngobrol-ngobrol sambil minum teh. bercengkrama gituuuu....

kabut khas pertapan pringgondani



Untuk melepas penat kalian setelah berjalan menaiki ratusan lebih anak tangga, kalian bisa mampir ke sebuah warung. Ya walaupun harganya agak mahal sih. Tapi nikmat betul dingin-dingin minum teh panah cem-ceman kek gini, sambil ngobrol-ngobrol sama bapak-bapak.

Setelah selesai ngobrol-ngobrol sama bapak-bapak langsung cus ke telaga wali, sekaligus tempat paling jauh… disana ada air terjun, konon sih disana digunakan untuk meditasi gitu.
Tapi sebelum ke telaga wali, kalian akan jumpai semacam gapura yang sepertinya membatasi antara wilayah pertapan dengan telaga wali.   
ya... ini gapuranya, abaikan sosok itu...

Nah ini guys telaga wali



  kenampakan telaga wali, pringgondani

“Di telaga wali, biasanya kita akan jumpai orang yang sedang bertapa di sana”. Menurut pak harso.
Ya karena hari udah sore juga ya terpaksan kami pulang deh. See ya pringgonadi.
Gobek gobek…

raut muka sedih saat meninggalkan pringgondani,

sekian dulu ya guys, postingan selanjutnya aku akan bagi tau tulisan laporan kami di pringgondani. Saran kritik yang membangun selalu aku nantikan demi postingan yang lebih bsaik lagi. See ya… 
NB: kalian juga bisa cek intagram aku di @stopa96